Alasan-alasan yang
menyetujui Pidana Mati:
1. Pidana
mati itu masih dibutuhkan, terutama bagi mereka yang tergolong sebagi resividis
(repeater criminal) dan bagi mereka yang melakukan tindak pidana yang membayakan
Negara, misalnya maker dan teroris atau narkotika.
2.Pidana
mati dianggap sebagai sarana yang dapat mencegah seseorang untuk melakukan kejahatan
karena pidana mati dianggap sebagai hal yang menakutkan atau menjerakan,
sehingga dengan demikian ada rasa takut bagi orang lain untuk melakukan
sesuatu perbuatan yang diancam dengan
pidana mati. Pendapat yang demikian ini, ada kaitannya dengan pendapat dai
Anselm Von Feuerbach dengan teorinya: Psycologische zwang (paksaan psikologis).
Menurut teori tersebut, jika seseorang dijatuhi hukuman dengan sepengetahuan
orang lain, maka orang lain tersebut akan merasa takut untuk melakukan suatu
tindak pidana. Sebenarnya, sejauh mana orang itu akan melaksanakan suatu
peraturan akan sangat tergantung pada kesadaran dan kepatuhan hukum dari yang
bersangkutan. Teori ini tidak berlaku secara umum.
3. Pidana
mati bukan merupakan hal yang baru bagi masyarakat Indonesia sebab pada
pemerintahan Majapahit, bahkan sebelumnya pidana mati sudah ada di Indonesia.
4. Secara
Yuridis, pidana mati itu masih dicantumkan didalam pasal-pasal KUHP, juga
diluar KUHP seperti Undang-undang narkotika nomor 22 tahun 1997, Undang-undang
Psikotropika nomor 5 Tahun 1997 dan Undang-undang Terroris, yaitu undang-undang
RI Nomor 15 Tahun 2003, Undang-undang senjata api, dan undang-undang tindak
pidana korupsi, jadi keberadaan pidana mati ada dasar hukumnya.
Alasan-alasan untuk tidak menyetujui pidana mati:
1. Dihubungkan
dengan sila ke-2 pancasila yang menempatkan manusia dalam keluhuran harkat dan
martabatnya sebagai mahkluk Tuhan yang Maha Esa, maka manusia sebagai pelaku
tindak pidana harus menjadi perhatian utama pada saat penjatuhan pidana. Dengan
perkataan lain harus ada individualisasi hukum pidana (artinya hukum pidana
harus berorientasi pada pelaku tindak pidana.
2. Dikaitkan
dengan manusia sebagai ciptaan Tuhan, dimana Tuhan sebagai causa prima dan
causa finalis, artinya, jika pidana mati dijatuhkan berarti kita mengingkari
kekuasaan Tuhan.
3. Pidana
mati dicantumkan di dalam pasal-pasal KUHP dan UU di luar KUHP, bahkan para
pengedar narkotika dan pelaku teroris dan pembunuhan berencana telah banyak
yang di jatuhi pidana mati, akan tetapi dalam kenyataannya tindak pidana yang
diancam dengan pidana mati masih tetap saja banyak terjadi. Dengan demikian
patut kita pertanyakan, apa kegunaan pidana mati tersebut.
4. Di
dalam UUD 1945, yang sudah diamandemen didalam pasal 28A disebutkan : Setiap orang berhak mempertahankan hidup dan
kehidupan. Dengan demikian seseorang tidak boleh dijatuhi pidana mati.
5. Apabila
hakim dihadapkan pada penjahat kambuhan (repeater criminal) maka yang
bersangkutan dapat dijatuhi pidana seumur hidup atau dua puluh tahun penjara,
karena sesungguhnya tujuan menghukum seseorang bukanlah untuk membalas apa yang
diperbuatnya, akan tetapi untuk mendidik yang bersangkutan agar kembali ke
jalan yang benar.
6. Terkait
dengan keberadaan Lembaga Pemasyarakatan, yang tugas utamanya adalah membina
narapidana, maka dengan dijatuhkannya pidana mati, berarti hal yang demikian
bertentangan dengan tugas utama Lembaga Pemasyarakatan tersebut.
Sehubungan
dengan keberadaan pidana mati tersebut, beberapa organisasi Internasional
mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
1. Deklarasi
Swedia Stockholm tanggal 11 Desember 1977 melalui Amnesty Internasional
menghimbau semua Negara di dunia untuk menghapus sepenuhnya pengenaan pidana
mati.
2. Melalui
resolusi tanggal 22 April 1980 Majeli Dewan Eropah mengimbau Negara-negara
anggota untuk mengupayakan penghapusan pidana mati di masa damai.
3. Sidang
Majelis Umum PBB tanggal 8 Desember 1977, mendorong Negara-negara untuk
membatasi penjatuhan pidana mati hanya untuk kasus-kasus khusus saja..
Contoh Negara-negara yang telah mencabut pidana mati yaitu: Islandia Tahun 1928, Swiss tahun 1973, Jerman tahun 1949, Brasil tahun 1979, Denmark tahun 1978, Norwegia tahun 1979, Austria tahun 1968, Portugal tahun 1977, Swedia tahun 1973, Prancis tahun 1981.
Sumber: C. Djisman Samosir, S.H.,M.H. Diktat Penologi dan Pemasyarakatan. Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung.